Dari seluruh konsep (mafahim, manahij, dan wasail) tarbiyah ruhiyah dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor penguat ruhiyah:
1- الْمَفَاهِيْمُ الرُّوْحِيَّةُ
2- الأَعْمَالُ التَّعَبُّدِيَّةُ
2- الأَعْمَالُ التَّعَبُّدِيَّةُ
Pemahaman ruhiyah dan amal-amal ta’abbudiyah.
Kekuatan ruhiyah dibentuk oleh pemahaman ruhiyah di satu sisi dan di sisi lain oleh amalan-amalan.
Mafahim Ruhiyah
Mafahim ruhiyah secara sederhana seperti yang disimpulkan Ibnu Taimiyah dalam Al-Waabil As-Shayyib bahwa seluruh perjalanan hidup kita sebagai mukmin akan menjadi sempurna ketika kita ada dalam dua kaca mata yang berimbang:
مُشَاهَدَةُ الْمِنَّةِ وَ الاِعْتِرَافُ بِالْقُصُوْرِ
Mempersaksikan semua karunia yang diberikan Allah di satu sisi dan di sisi lain adalah pengakuan atas kelalaian-kelalaian kita. Antara apa yang kita persembahkan kepada Allah dengan apa yang diberikan Allah itu tidak pernah imbang. Kita menerima karunia Allah jauh lebih banyak dari amal yang kita persembahkan kepada Allah. Situasi inilah yang membuat kita berada di antara al-khauf war-raja (takut dan berharap), kesadaran yang berkesinambungan bahwa apa yang kita berikan tidak akan pernah bisa mencukupi atau mengimbangi karunia Allah.
Amal-amal Ta’abbudiyah
Dalam kesadaran seperti itulah intisari dari wasail/a’mal tarbiyah ruhiyah terfokus pada tiga hal yaitu tilawatul quran, shalat, dan dzikir.
1. Tilawatul Qur’an
Ada dua bentuk tilawah:
التِّلاَوَةُ التَّعَبُّدِيَّةُ وَ التِّلاَوَةُ التَّأَمُّلِيَّةُ
Tilawah ta’abbudiyah (tilawah ritual ibadah) dan tilawah ta-ammuliyah (tilawah perenungan).
Yang kedua, memperbanyak waktu untuk tilawah ta-ammuliyah dengan melakukan pendekatan berbasis tematik, kita mulai membaca Quran dengan pendekatan ta-ammul (perenungan mendalam), dan mencoba melakukan istilham (mencari ilham/inspirasi) dari Al-Quran ini. Kita mencoba berimajinasi seperti dahulu Muhammad Iqbal dan Hasan Al-Banna melakukannya. Waktu beliau membaca Al-Quran, orang tuanya bertanya, “Apa yang kamu baca?” Saya sedang membaca Al-Quran. Lalu orang tuanya mengatakan, “Bacalah Al-Quran itu seolah-olah ia diturunkan kepadamu.” Karena Al-Quran ini diturunkan pada fase yang lama, tidak sekaligus, oleh karena itu unsur momentum menjadi penting dalam memahaminya. Dan momentum-momentum itu diciptakan oleh Allah berulang dalam kehidupan manusia sehingga kemungkinan kita melakukan qiyas (analogi) kepada momentum-momentum itu sangat banyak walaupun tidak persis sama kejadiannya, tetapi kita tetap bisa mendapatkan ilham dari situ, karena Al-Quran dating dengan kaidah-kaidah umum dan tidak tergantung kepada kekhususan sebab peristiwa turunnya. Kaidahnya adalah:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ
Ibrah dari ayat itu adalah dengan keumuman lafazhnya (teksnya) dan bukan dengan kekhususan sebab turunnya.
Konteks turunnya penting untuk memberikan ilham dalam menemukan kesamaan, tetapi ibrahnya tetap berlaku umum. Surat-surat Al-Quran itu memiliki kedekatan-kedekatan antara satu dengan lainnya. Seperti surat Al-Anfal, At-Taubah, Muhammad dan Al-Fath adalah surat-surat jihad dari sisi tema suratnya.
Contoh lain adalah ketika kita memperhatkan kata al-makr (makar) di dalam Al-Quran, maka ayat-ayatnya menjelaskan bagaimana konstruksi konseptual dari makar itu dalam tinjauan Al-Quran. Salah satu yang menarik bahwa semua makar yang disebutkan dalam Al-Quran selalu dihubungkan dengan sifat Allah yang terkait dengan al-qudrah (Kemahakuasaan Allah) dan selalu diletakkan dalam konteks al-qadha wal qadar, supaya kita membaca tentang makar manusia sehebat apapun, tetapi kendali alam semesta ini tetaplah dalam kekuasaan Allah:
وَلا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَبَقُوا إِنَّهُمْ لا يُعْجِزُونَ
Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melemahkan (Allah).
Begitu juga ayat-ayat yang terkait dengan fakta-fakta alam raya, seperti angin yang dijelaskan sebagai salah satu tentara Allah, oleh karena itu sains tidak pernah punya ilmu pasti tentang arah angin, tetapi selalu perkiraan, karena Allahlah yang yusharrifuhu (mengarahkannya) sekehendak-Nya. Bahwa setiap benda ada malaikat yang mengurusnya, waktu kita naik pesawat melalui turbulence, ada malaikat yang khusus mengatur akan dibawa ke mana angin itu.
Pembacaan dan perenungan seperti ini akan meningkatkan penghayatan kita dan dengan sendirinya akan memberikan kepada kita pencerahan ruhiyah, terutama saat kita menghadapi begitu banyak syubuhat (hal-hal yang kabur), atau berhadapan dengan keadaan kritis. Efek dari penghayatan itu akan muncul di saat-saat seperti itu. Dialah yang memberikan kita kepastian, dialah yang juga memberikan kita keteguhan.
Kita harus rajin membaca kitab tafsir yang alhamdulillah beberapa referensi utamanya sudah diterjemahkan karena gerakan terjemah selama 20 tahun ini luar biasa kemajuannya.
2. Shalat
Shalat adalah imaduddin atau tulang punggung dari tadayun (religiusitas) kita. Aplikasinya adalah kira-kira jumlah rakaat shalat wajib dan sunnah yang kita lakukan sehari berjumlah 42 rakaat: 17 rakaat shalat 5 waktu, 10 rakaat sunnah rawatib (2 sebelum zhuhur, 2 sesudah zhuhur, 2 sesudah isya dan 2 sebelum subuh), 4 rakaat dhuha, 11 rakaat qiyamul lail.
Yang faraidh (wajib) harus berusaha melaksanakannya berjamaah di masjid atau di kantor atau di perjalanan, agar kita mendapat penggandaan pahala dan keutamaannya. Lalu berusaha menjaga 10 rakaat yang rawatib tadi dan selalu kita menjadikannya sebagai standar.
Yang penting dari ibadah-ibadah ini adalah al-muwazhabah (kesinambungan). Jika kita belum kuat shalat qiyam dengan waktu dan bacaan yang lama, lakukanlah terus-menerus meski dengan surat-surat pendek. Nanti secara perlahan-lahan pasti akan menemukan kekuatan-kekuatan baru untuk melakukannya lebih lama. Kalau kita tidak bisa melakukan 11 rakaat, witirnya kita tambah dari 3 menjadi 5 rakaat, naik menjadi 7 dan seterusnya. Sekali lagi yang penting adalah kesinambungan. Insya Allah kalau kita melaksanakan tilawah dan shalat secara berkesinambungan seperti ini kita akan mempunyai tingkat stabilitas ruhiyah yang bagus.
3. Dzikir Muthlaq
Dzikir mutlak berupa istighfar seratus kali atau seribu kali, la ilaha illallah seratus atau seribu kali. Dzikir mutlak ini harus diperbanyak untuk mengimbangi wirid-wirid yang kita baca dalam sehari.
Sebenarnya dzikir adalah tools untuk menjaga ingatan kita kepada tujuan akhir. Kalau wazhifah kubra (al-ma’tsurat) adalah ijtihad Imam Syahid Hasan Al-Banna mengumpulkan doa-doa yang bertebaran dari sekian banyak hadits dikumpulkan jadi satu dan dianjurkan untuk dibaca pagi dan petang.
Inilah tiga sarana utama tarbiyah ruhiyah untuk memberikan energi yang cukup dalam memikul beban dan energi untuk melawan musuh Allah.
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/28051/faktor-penguat-ruhiyah/#ixzz2LpTPL5cF
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar