Pada tahun keempat kenabian saat beberapa sahabat Rasulullah SAW dalam suasana “bercanda” sesama mereka, turun ayat yang menegur mereka:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. (Al-Hadid: 26).
Ini adalah peringatan dini kepada para sahabat yang baru empat tahun beragama Islam, karena memang generasi yang akan dibentuk adalah pondasi dari seluruh bangunan Islam yang kita nikmati sampai hari ini, juga adalah generasi yang kuat dari seluruh aspeknya. Ciri utama generasi ini yang menggabungkan kekuatan fisik, kekuatan ruh/iman dan pikiran adalah fokus yang sangat tajam pada orientasi/tujuan, dan itulah makna khusyu’ yang sebenarnya. Kalau kita melihat ayat yang menegur para sahabat yang dalam suasana bercanda itu menunjukkan bahwa Allah swt ingin agar “sifat kelemahan” ini tidak ada pada generasi yang akan menjadi pondasi bangunan dakwah ini. Belumkah datang saatnya.
Jadi yang dimaksud khusyu’ adalah:
الخُشُوعُ : اَلاِتِّصَالُ الدَّائِمُ بِاللهِ الَّذِي هُوَ غَايَتُنَا (الِاتِّصَالُ الدَّائِمُ بِالْهَدَفِ)
Ketersambungan yang terus-menerus dengan Allah swt yang menjadi tujuan kita.
Jadi ada semacam “sense of direction” (perasaan terarah yang terus menerus disertai dengan ketekunan, kesungguhan untuk menjadi semua proses mencapai tujuan. Jadi khusyu’ tidak ditandai dengan tampilan yang menunjukkan kita adalah orang yang terus menerus “menunduk”, tetapi ia adalah ingatan yang terus menerus kepada Allah Taala, kepada akhirat, kepada tujuan akhir yang membuat kita terus menerus mendapat energy untuk bekerja tanpa henti.
Oleh sebab itu, kalau kita ingin mendefinisikan tarbiyah ruhiyah dari maraji’ da’wiyah, dan juga turats (warisan) tarbiyah ruhiyah dari ulama kita yang mereka mengambilnya dari Al-Quran dan Sunnah maka secara sederhana tarbiyah ruhiyah adalah:
التربية الروحية : فَنُّ الصُّعُوْدِ الْمُسْتَمِرِّ فِي عَالَمِ الْكَمَالِ الْإِنْسَانِيِّ
Seni untuk mendaki secara terus menerus di alam kesempurnaan manusiawi.
Jadi kita ini ibarat mendaki gunung, dan gunung ini gunung kesempurnaan kita sebagai manusia. Proses pendakian itu adalah proses yang terus menerus, semakin kita naik semakin berat situasinya karena oksigennya makin sedikit, bebannya makin banyak. Itu sebabnya Imam Syahid menyebutkan bahwa di antara manusia hanya sedikit yang beriman, dan di antara yang beriman hanya sedikit yang beramal, dan di antara yang beramal hanya sedikit yang berdakwah, dan di antara yang berdakwah itu hanya sedikit yang sabar, dan di antara yang sabar itu hanya sedikit yang benar-benar sampai ke akhir perjalanan. Itu menunjukkan bahwa semakin ke atas semakin mengerucut dan semakin sedikit anggotanya. Oleh karena itu Abu Bakar berdoa:
اللَّهُمَّ اْجْعَلْنِي مِنَ القَلِيلِ
Ya Allah jadikanlah aku di antara yang sedikit itu.
Allah juga menyebutkan:
ثُلَّةٌ مِنَ الأوَّلِينَ وَقَلِيلٌ مِنَ الآخِرِينَ
Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian (Al-Waqi’ah: 13-14).
Iman yang kita pelihara di dalam diri kita ini mempunyai dua bentuk ekspresi kekuatan:
(1) الْقُوَّةُ الَّتِيْ نَتَحَمَّلُ بِهَا الْوَاجِبَاتِ والطَّاعَاتِ
(2) الْقُوَّةُ الَّتِيْ نَتَصَدَّى بِهَا الأَعْدَاءَ وَالْإِغْرَاءَاتِ
- Kekuatan yang kita perlukan untuk memikul beban kewajiban dan taat
- Kekuatan yang kita perlukan untuk menghadapi musuh dan juga godaan
Jadi satu sisi dari kekuatan itu kita perlukan untuk memikul beban, dan sisi lainnya untuk menghadapi musuh. Karena selama kebenaran dan kebatilan “fii shira’in daa-im” (senantiasa ada dalam konflik abadi), maka kita selamanya akan punya musuh. Al-Quran menyebutkan:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap Nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong. (Al-Furqan: 31)
Ayat ini seharusnya menghidupkan dalam diri kita apa yang disebut dengan “sense of war” الْحَسَّاسِيّةُ الْحَرْبِيَّةُ hasasiyah harbiyah, bahwa kita senantiasa ada dalam perang, sebagian dari musuh kita adalah setan yang tidak tampak, dan sebagiannya tampak. Dan yang tampak itu lebih keras dari yang tidak tampak, karena bisa lebih sadis. Iblis hanya berbisik-bisik, tetapi setan yang tampak bisa membunuh, memenjarakan dan seterusnya. Tapi tidak ada seorang pun yang bisa melepaskan diri dari keadaan “mempunyai musuh”.
Dalam dua sisi/ekspresi iman inilah kita harus memfungsikan tarbiyah ruhiyah itu dalam kehidupan pribadi kita maupun di dalam jamaah. Energi untuk memikul beban dan energi untuk melawan.
Kalau kita membaca buku Madarijus Salikin: ada sisi sebelah kanan kita yaitu “daairah al-wajibaat wal-mustahabbaat” bahwa kita selalu melaksanakan daftar amal-amal yang wajib dan sunnah, sedangkan di sisi kiri kita meninggalkan “daairah al-muharramaat wal makruuhaat” meninggalkan yang haram dan makruh. Nanti kalau kita sudah naik tinggi seluruh waktu kita diisi dengan yang wajib dan sunnah, selanjutnya secara perlahan-lahan kita meninggalkan yang sifatnya mubah supaya semuanya dikonversi menjadi mustahabbaat (yang sunnah/disukai Allah). Dan ini membutuhkan energi yang tidak sedikit, energy untuk melaksanakan daftar kebajikan yang begitu banyak. Tetapi pada waktu yang sama kita juga membutuhkan energy untuk melawan, karena waktu kita melaksanakan kewajiban ini kita tidak berjalan mulus, tidak sendirian, ada gangguan. Ada usaha untuk mencegah kita melaksanakan kewajiban-kewajiban itu. Usaha inilah yang dilakukan oleh musuh, oleh karena dua sisi keimanan inilah yang harus terus menerus kita picu.
Kalau tarbiyah ruhiyah itu hanya memberi energy kepada kita untuk melaksanakan kewajiban dan memikul beban tetapi tidak memberi energy untuk melawan, pasti ada yang salah dalam proses tarbiyah ini. Begitu juga sebaliknya. Itulah sebabnya kita mengenal istilah “ruhbanun billail wa fursanun bin nahar” , dan itulah dua sisi keimanan. Waktu menjadi ruhban itulah sisi keimanan yang memberinya energy untuk melaksanakan daftar kewajiban yang begitu banyak, saat menjadi fursan (pasukan perang) itulah sisi keimanan yang memberinya energy untuk melawan.
Jadi ia hanya ada dalam dua warna hidup: ibadah dan perang. Dua hal ini yang memang dihindari oleh tabiat manusia, kita tidak ingin memikul beban dan tidak ingin melawan musuh. Karena pola hidup seperti ini berat, maka kita diajarkan doa dalam al-ma’tsurat:
اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن ، وأعوذ بك من العجز والكسل ، وأعوذ بك من الجبن والبخل ، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال
Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kegelisahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, dari tekanan utang dan dominasi kesewenangan orang-orang.
Coba perhatikan urutan doa ini: al-hammu wal hazan itu di dalam hati, inilah racun yang menjadi sumber kerapuhan ruhiyah kita. Nanti penampakkan karakternya pada diri kita ada pada ajz (kelemahan) dan kasal (kemalasan) berhubungan dengan internal individu. Perhatikan selanjutnya al-jubn (sifat penakut) dan al-bukhl (bakhil): ini adalah karakter yang berkaitan dengan hubungan sosial kita, takut menghadapi musuh dan tidak mau berkorban. Jika racun dalam hati itu ada berupa al-hamm wal hazan, dan tampak dalam diri berupa al-‘ajz wal kasal, lalu tampak dalam karakter yang berhubungan dengan relasi sosial kita yaitu al-jubn wal bukhl, maka penampakan sosial politik kita secara keseluruhan adalah ghalabatid dayn wa qahrir rijal yaitu ketergantungan ekonomi dan ketergantungan politik, gampang diintimidasi oleh orang lain, tergantung secara finansial kepada orang lain dan gampang diintimidasi. Itulah penampakan umumnya yang berasal dari hati berupa al-hammu wal hazan.